
Ketiganya bersama ratusan kepala keluarga (KK) lain di lima desa, yakni Desa Air Sempiang, Tugu Rejo, Bandung Baru, Air Leles, dan Desa Tangsi Baru menggarap tanah yang diklaim milik salah satu perusahaan perkebunan.
"Kami mendapatkan surat
panggilan polres. Lalu saat kami datang kemarin Rabu (18/12/2013), kami dipaksa
menyerahkan tanah yang kami garap. Jika tidak, kami akan dipenjara," kata
Martoyo saat menggelar juma pers di Kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Bengkulu, Kamis (19/ 12/2013).
Selanjutnya, Martoyo menjelaskan, ia dan Wagianto menolak secara keras permintaan polisi. Sementara Wagianto, setelah diancam akan dipenjara, akhirnya menandatangani surat penyerahan tanah kepada perusahaan di atas materai. "Kami menyesalkan tindakan kepolisian tersebut," kata Martoyo, sedih.
Selanjutnya, Martoyo menjelaskan, ia dan Wagianto menolak secara keras permintaan polisi. Sementara Wagianto, setelah diancam akan dipenjara, akhirnya menandatangani surat penyerahan tanah kepada perusahaan di atas materai. "Kami menyesalkan tindakan kepolisian tersebut," kata Martoyo, sedih.
Sementara itu Kapolres Kepahiang
AKBP Sudarno ketika dikonfirmasi menolak tegas pihaknya memaksa masyarakat
menyerahkan tanah sengketa ke perusahaan. "Polisi hanya meluruskan, karena
sebelum saya menjadi Kapolres Kepahiang, telah ada surat perjanjian antara masyarakat dengan
perusahaan disaksikan kepala desa dan camat bahwa masyarakat akan menyerahkan
tanah yang mereka garap dengan catatan rumah yang telah dibangun di atas tanah
sengketa itu diberikan pada masyarakat, itu dilakukan perusahaan," kata
Sudarno dihubungi via
telpon.
Ia melanjutkan, dalam perjanjian
dijelaskan, perusahaan akan memberikan rumah di atas tanah yang telah lama
ditempati masyarakat, sementara lahan yang digarap warga harus dikembalikan ke
perusahaan.
Sementara di lain pihak, warga mengaku sama sekali tidak mengetahui perjanjian itu karena selama ini mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut.
Sementara di lain pihak, warga mengaku sama sekali tidak mengetahui perjanjian itu karena selama ini mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut.
"Kami tidak mengetahui
perjanjian itu. Selama ini, kami tidak pernah dilibatkan dalam proses itu oleh
perusahaan, mungkin tanda tangan kami telah dipalsukan," tambah Wagianto,
rekan Martoyo.
Status tanah sengketa
Status tanah sengketa
Sementara itu, berdasarkan
dokumen warga, tanah yang disengketakan itu awalnya adalah perusahaan
perkebunan teh milik Belanda. Perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau
Jawa.
Lalu, setelah Indonesia merdeka,
perusahaan berganti-ganti pengelola. Pada 1987, lahan dengan luas 1000 hektar
dikelola PT Sarana Mandiri Mukti (PTSMM) dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU)
nomor 1 /KW/KPH/1989 dan berakhir pada 31 Desember 2019.
Karena telantar sejak 1987,
tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa itulah akhirnya memanfaatkan
tanah milik perusahaan hingga kini. HGU ini juga dibebani dengan hipotik
peringkat pertama dan peringkat kedua pada Bank Pembangunan Indonesia dan telah
dihapuskan berdasarkan surat dari Badan Penyehatan Perbankan Nomor 334/2005
tanggal 28 April 2005.
Tanah tersebut akhirnya diusulkan
sebagai lahan telantar karena tidak pernah dikelola oleh perusahaan.
Selanjutnya perusahaan melepaskan tanah seluas 224,88 hektar dan menyerahkannya
kepada negara yang kemudian disepakati dalam rapat pemegang saham luar biasa,
berdasarkan akta notaris Nurlela Wati SH dan surat pernyataan pelepasan hak
atas tanah tanggal 27 Juni 2011.
Selanjutnya, berdasarkan berita
acara sidang panitia C kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi
Bengkulu tanggal 1 Juli 2011, tanah seluas 224.88 hektar yang diserahkan ke
negara itu dijadikan obyek land reform
(diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah).
Masyarakat juga memiliki surat
pernyataan dari perusahaan tertanggal 12 Mei 1998 ditandatangani Guntur Wiweko
selaku Pjs Administratur. Dalam surat itu dinyatakan bahwa perusahaan tidak
akan menganggu gugat lahan pertanian rakyat selama-lamanya. Gubernur Bengkulu,
Junaidi Hamsyah pernah mengirimkan surat penghentian kegiatan di areal HGU
perusahaan kepada Bupati Kepahiang, tetapi surat tersebut tak diindahkan.
Mengandung Geothermal
Martoyo menjelaskan, tanah sengketa ini diindikasikan wilayah tersebut mengandung geothermal atau gas bumi. "Eksplorasi geothermal dilakukan selama tujuh bulan lalu, dan ditemukan di tanah HGU tersebut. Kami sengaja mau diusir dari desa kami," kata Martoyo.
Intimidasi dan tekanan banyak
diterima oleh warga yang tak bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada
perusahaan. Ironisnya, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten Kepahiang
justru memiliki saham di perusahaan tersebut.
No comments :
Post a Comment