BENGKULU,
KOMPAS.com
- Empat rumah warga masyarakat Suku Marga Semende, Kecamatan Nasal, Kabupaten
Kaur, Bengkulu dibakar petugas hingga rata dengan tanah. Wilayah yang mereka
tinggali dianggap masuk kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
sehingga mereka dituding sebagai perambah hutan.
Warga
suku adat Marga Semende menolak tegas dikatakan sebagai perambah hutan dengan
alasan mereka adalah keturunan dari penduduk asli wilayah itu sejak sebelum
Indonesia merdeka.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Bengkulu Defri Tri Hamdi membeberkan hasil riset yang mereka lakukan bersama
masayarakat suku Marga Semende.
Defri mengatakan, masyarakat Semende mulai bermukim di Ulu Benula (Banding
Agung) sejak 1807 sebagaimana dijelaskan dalam buku Perencanaan Desa
Partisipatif terbitan Desember 2005.
"Daerah itu sekarang tempat yang dibakar oleh petugas," kata Defri,
Minggu (22/12/2013).
Ia pun menjelaskan kronologi konflik lahan di wiayah tersebut. Berikut
kronologi menurut AMAN:
Pada 22 Agustus 1891, Pemeritah Hindia Belanda melalui kepala kewidanaan Kaur
mengakui Dusun Banding Agung sebagai wilayah Marga Semende Muara Nasal, dengan
mengeluarkan surat pengangkatan Depati Dusun Banding Agung.
Pada 24 Desember 1935, Gubernur Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan No.
48 tentang Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I.
Pada 1942, masyarakat Adat Semende Banding Agung meninggalkan dusun Banding
Agung karena penyakit atom (sejenis penyakit cacar menular).
Pada 1959, masyarakat adat Semende Banding Agung memeriksa kembali wilayah
Dusun Banding Agung karena terbebas penyakit menular akhirnya mereka kembali
lagi ke wilayah itu.
Pada 1982, Menteri Pertanian mengeluarkan surat Nomor: 736/Mentan/1982 yang menetapkan
kawasan itu sebagai Taman Nasional.
Pada 1997–1999, masyarakat adat Semende Banding Agung mulai kembali bercocok
tanam di wilayah tanah ulayatnya Dusun Lame, Banding Agung, wilayah yang saat
ini telah berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Pada 2003, masyarakat Adat Semende Banding Agung baru menyadari bahwa wilayah
adat mereka dianggap masuk ke dalam kawasan hutan negara karena sosialisasi
yang dilakukan oleh Aparat TNBBS.
Pada Juli 2004, UNESCO menetapkan wilayah tersebut sebagai Cluster Tapak
Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra).
Pada 2005, masyarakat adat Semende Banding Agung mulai berupaya untuk
mempertahankan wilayah adatnya. Dusun Lame Banding Agung salah satunya dengan
melakukan pemetaan partisipatif.
Pada Juli 2006, Dirjen PHKA mengelarkan SK No. 69/IV-Set/HO/2006 yang
menetapkan sebagai Taman Nasional Model.
Pada 1 Feb 2007, Menteri Kehutanan RI mengeluarkan surat No :
P03/Menhut-II/2007 menetapkan wilayah tersebut sebagai Balai Besar TNBBS 2010.
Dilaksanakan Rakor dan sosialisasi di Kabupaten Kaur tentang penanganan
masyarakat yang dianggap perambah TNBBS.
Versi masyarakat, sosialisasi tidak pernah mereka dapatkan dan pintu dialog
untuk menyampaikan pendapat, pandangan dan surat-menyurat wilayah adat mereka
kepada instansi terkait tidak pernah diberikan.
Pada 21 Juni 2012, pihak balai besar dan instansi terkait kabupaten Kaur
melakukan sosialisasi di Desa Suka Jaya terkait operasi gabungan penurunan
perambah TNBBS.
Pada 2 Juli 2012, masyarakat Adat Semende Banding Agung yang mengetahui bahwa
wilayah adat mereka masuk ke dalam target operasi gabungan penurunan perambah
melakukan pengumpulan bukti bahwa Dusun Banding Agung adalah wilayah tanah adat
mereka dan mengirimkan bukti yang terkumpul keberadaan mereka.
Pada 6 juli 2012, dilakukan rapat koordinasi tentang penurunan perambah TNBBS,
dalam rakor ini mempertimbangkan keberadaan Dusun Lame Banding Agung.
Pada 9-13 Juli 2012, penggusuran dan pembakaran terhadap tanaman, gubuk, dan
alat perkebunan di Dusun Banding Agung dilakukan oleh tim gabungan balai besar
TNBBS dan instasi terkait.
Pada 21 – 24 Desember 2013, operasi gabungan TNBBS disertai ancaman penangkapan
kembali dilakukan di wilayah adat Semende Banding Agung.
No comments :
Post a Comment