-->

Sunday, December 22, 2013

AMAN BENGKULU DESAK GUBERNUR IMPLEMENTASIKAN PUTUSAN MK



RBI, BENGKULU - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu mendesak Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah untuk segera mengimplementasikan keputusan Makhamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan negara.

Desakan ini merujuk pada kerapnya sikap represif aparat dan pemerintah daerah saat melakukan penertiban atas tanah yang diklaim milik negara.

"Putusan ini telah lama keluar. Dari putusan ini, harusnya sudah ada tindak lanjut dari Gubernur. Agar segenap masyarakat adat yang ada di Bengkulu, bisa memiliki kedaulatan sendiri atas tanah dan miliknya," kata Ketua Dewan Pengurus Besar Aman Bengkulu Deftri Hamri, Sabtu (21/12).

Lambannya implementasi dan turunan atas putusan MK, menurutnya, jelas akan semakin merugikan keberadaan dan hak dari masyarakat adat. Ia mencontohkan, kemarin (21/12), di Kabupaten Kaur terjadi pengusiran oleh aparat Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) terhadap 378 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 600 jiwa dari masyarakat adat suku Semendo Bandung Agung di Dusun Lamo.

Operasi gabungan yang rencananya akan digelar hingga Selasa (24/12) itu, dilakukan secara represif, berupa pengusiran paksa dan pengancaman. Penertiban itu, kata dia, hanya merujuk pada SK Kementerian Kehutanan Nomor 71/kpts-II/1990 tentang penetapan kawasan Desa Banding Agung dalam TNBBS.

Sementara, dirujuk dari kronologis sejarah, sejak tahun 1891 Dusun Lamo di Desa Banding Agung telah ditetapkan sebagai tanah warga marga Semendo oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Kewidanaan Kaur. "Jadi secara hukum ini sah milik tanah marga sejak tahun 1891. Jauh sebelum keputusan Menhut. Artinya, ini bukan perambahan atau upaya merusak TNBBS. Kenapa mereka diusir," ujar Deftri.

Untuk itu, ia berharap, beriringan dengan telah terbitnya putusan MK tersebut. Hendaknya Gubernur dapat segera menentukan tindak lanjut. Melalui penginventarisiran kembali seluruh tanah adat di Bengkulu, dengan melibatkan perangkat adat atau perwakilan desa. Dengan begitu, selain dapat diketahui jelas dimana saja batas-batas kesepakatan tanah atau hutan negara sesungguhnya. Juga dapat meminimalisir peluang konflik masyarakat adat dengan pemerintah.

"Implementasi ini sangat penting disegerakan. Masyarakat adat sangat menantikan langkah konkrit dari gubernur. Jangan sampai muncul konflik dulu baru ditangani," ujar Deftri. (jek)

No comments :

Post a Comment