
Desakan ini merujuk pada
kerapnya sikap represif aparat dan pemerintah daerah saat melakukan penertiban
atas tanah yang diklaim milik negara.
"Putusan ini telah
lama keluar. Dari putusan ini, harusnya sudah ada tindak lanjut dari Gubernur.
Agar segenap masyarakat adat yang ada di Bengkulu, bisa memiliki kedaulatan
sendiri atas tanah dan miliknya," kata Ketua Dewan Pengurus Besar Aman
Bengkulu Deftri Hamri, Sabtu (21/12).
Lambannya implementasi dan
turunan atas putusan MK, menurutnya, jelas akan semakin merugikan keberadaan
dan hak dari masyarakat adat. Ia mencontohkan, kemarin (21/12), di Kabupaten
Kaur terjadi pengusiran oleh aparat Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan (TNBBS) terhadap 378 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 600 jiwa dari
masyarakat adat suku Semendo Bandung Agung di Dusun Lamo.
Operasi gabungan yang
rencananya akan digelar hingga Selasa (24/12) itu, dilakukan secara represif,
berupa pengusiran paksa dan pengancaman. Penertiban itu, kata dia, hanya
merujuk pada SK Kementerian Kehutanan Nomor 71/kpts-II/1990 tentang penetapan
kawasan Desa Banding Agung dalam TNBBS.
Sementara, dirujuk dari
kronologis sejarah, sejak tahun 1891 Dusun Lamo di Desa Banding Agung telah
ditetapkan sebagai tanah warga marga Semendo oleh Pemerintah Hindia Belanda
melalui Kewidanaan Kaur. "Jadi secara hukum ini sah milik tanah marga
sejak tahun 1891. Jauh sebelum keputusan Menhut. Artinya, ini bukan perambahan
atau upaya merusak TNBBS. Kenapa mereka diusir," ujar Deftri.
Untuk itu, ia berharap,
beriringan dengan telah terbitnya putusan MK tersebut. Hendaknya Gubernur dapat
segera menentukan tindak lanjut. Melalui penginventarisiran kembali seluruh
tanah adat di Bengkulu, dengan melibatkan perangkat adat atau perwakilan desa.
Dengan begitu, selain dapat diketahui jelas dimana saja batas-batas kesepakatan
tanah atau hutan negara sesungguhnya. Juga dapat meminimalisir peluang konflik
masyarakat adat dengan pemerintah.
No comments :
Post a Comment