-->

Thursday, December 26, 2013

Jadi Tersangka, Empat Warga Adat Semende Banding Agung Dijerat UU P3H



MONGABAY – INDONESIA.  Setelah dibawa ke Kantor TNBBS karena protes pembakaran rumah warga adat Semende Banding Agung, oleh polisi hutan dalam operasi gabungan, empat warga adat, Midi, Heru, Rahmat dan Suraji, ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (24/12/13). Mereka dijerat UU No 18 tahun 2012, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Def Tri, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, mengatakan, setelah pemeriksaan, empat warga langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. “Mereka dijerat UU No 18, pasal 92 ayat 1 huruf a dan b,” katanya via pesan singkat kepada Mongabay, Selasa malam (24/12/13).

Def mengatakan, awalnya, mereka berempat diajak tim penertiban ke Kantor Taman Nasional Bukit Baisan Selatan (TNBBS) sektor Merpas, Kabupaten Kaur, untuk berdialog. Setibanya di kantor itu, tim mengadakan upacara pembubaran tim operasi.

Keempat warga ini malah dibawa ke Polres Kaur. Dipolres mereka diperiksa penyidik tindak pidana khusus (tipidsus) sampai sekitar pukul 24.00. “Pada  Selasa 24 Desember, pukul 10.30 Midi, Heri, Rahmat dan Suraji diminta menandatangani surat perintah dan penahanan,” katanya dalam kronologi kejadian yang dikirim via surat elektronik.

Def menceritakan, operasi gabungan TNBBS dimulai Sabtu (21/12/13) sampai Selasa (24/12/13). Di sana, ada dua titik kumpul masyarakat adat Semende Banding Agung, di Talang Batu Betiang dan Talang Cemara.

Pada Sabtu, tim gabungan mulai beroperasi. “Hari itu sudah terjadi pembakaran rumah-rumah masyarakat. Ini rumah warga di luar wilayah adat Semende Banding Agung,” ujar dia.
Pada Minggu (22/12/13),  sekitar pukul 11.00,  masyarakat adat di Talang Cemara menerima kedatangan tim Polres Kaur. Mereka sempat berdiskusi terkait operasi gabungan di wilayah adat Semende Banding Agung.

Setelah diskusi, perwakilan masyarakat adat mengantarkan tim Polres Kaur ke pos operasi, karena tak mengetahui jalan ke sana.

Usai mengantarkan tim, masyarakat terkejut dengan kepulan asap. Ternyata, rumah masyarakat adat sudah dibakar polhut. Masyarakat, katanya, datang ke lokasi pembakaran, tetapi polhut mencabut golok dan mengarahkan pistol ke masyarakat.

Pukul 14.00, polhut kembali mendatangi warga adat di Talang Cemara. Mereka meminta warga mengisi daftar hadir. Warga mengisi daftar hadir. Belakangan, kata Def, ada warga melihat polhut menambahkan kata perambah di ujung kata “daftar hadir”.

Lalu, warga diminta menandatangani pernyataan akan meninggalkan wilayah. Mereka menolak. Polhut pun meminta warga datang pada malam hari ke pos operasi gabungan. Sayangnya, pada malam itu, hujan deras hingga warga tak bisa datang ke pos.

Senin (23/12/13), warga adat di Talang Cemara menyiapkan tikar di halaman rumah mereka. Karena batal bertemu pada malam hari, warga beranggapan dialog dengan tim gabungan dilangsungkan pagi itu.

Namun, alih-alih dialog. Polhut datang sekitar pukul 07.00, tetapi langsung marah-marah. Menurut cerita warga, kata Def, beberapa anggota tim menendangi rumah warga. Warga tak diberi kesempatan berbicara. Pondok warga adat pun mulai dibakari.

Sementara, Midi, sebagai hulubalang, di Talang Batu Betiang,  mendengarkan kabar akan ada dialog dengan tim operasi mendatangi Talang Cemara. Tetapi yang dia lihat malah pembakaran rumah-rumah. Midi, dan tiga warga lain,  Heri, Rahmat dan Suraji meminta penjelasan. Polhut malah marah-marah.

Polhut TNBBS bahkan sempat memukul Suraji, dan Midi. Anggota tim juga beberapa kali mengeluarkan tembakan ke udara. Polhut ingin memborgol Heri, namun Midi meminta agar tak diborgol. “Setelah itu mereka berempat diajak turun, dialog. Ternyata dibawa ke polisi dan jadi tersangka.”

Dari operasi tim gabungan itu, kata Def, warga adat mengalami kerugian seperti 10 rumah dibakar beserta isi, dua di Talang Sinar Semendo, delapan di Talang Cemara. Salah satu yang dibakar warung manisan, dan kebutuhan sehari-hari. “Lalu satu sepeda motor, genset dan hasil panen seperti kopi, beras, dan kebutuhan hidup sehari-hari juga rusak.”

Pada Senin (23/12/13), kepada Mongabay, Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan mengatakan, sudah mendapat laporan tentang operasi penertiban di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). “Mana ada rumah warga adat yang dibakar, itu cuma gubuk kerja yang sudah lama ditinggalkan,” katanya.

Menurut dia, keempat warga yang menjadi provokator sudah ditangkap. “Ya, povokator sudah ditangkap. Nanti, liat saja, akan sepi itu kalau provokator sudah ditangkap.”

Ketika disebutkan mereka masyarakat adat yang sudah tinggal turun menurun di sana, kata Sonny,” Mana buktinya. Harus jelas. Belum ada perda yang mengakui.”

Bagaimana nasib tanaman kebun yang sudah ada? Tanpa penjelasan detil, dia mengatakan akan memberikan kesempatan warga memelihara kebun-kebun itu.

Def kesal dengan pernyataan Sonny. “Kalau semua orang yang mempertahankan hak disebut provokator, apa bedanya Dirjen PHKA dengan kompeni Belanda. Payah dan ngawur.” 

Terkait penggunaan UU No 18 dalam penanganan kasus-kasus kehutanan, Sonny mengakui belum berani. “Karena di situ ada lembaga yang nanti akan dibentuk UU juga. Ditetapkan Perpres, itu seperti komisi. Maka kita belum berani. Takut kalau kita coba nanti malah kalah. Dasarnya apa? Kita harus hati-hati.”

Masyarakat Semende Tolak Digusur Dari Taman Nasional



Bengkulu, jurnalsumatra.com – Masyarakat adat Semende yang mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di wilayah Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu menolak digusur dari wilayah adat mereka, Sabtu.

“Leluhur kami sudah berdiam di wilayah ini sejak lama, ada dokumen tentang keberadaan masyarakat adat Semende tahun 1891 saat masih zaman kolonial, jadi kami mempertahankan tanah adat nenek moyang,” kata Midi, warga suku Semende yang tinggal di Dusun Lamo Banding Agung, dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), saat dihubungi dari Bengkulu, Sabtu.
Ia mengatakan operasi penurunan warga yang dianggap perambah dari TNBBS oleh polisi kehutanan, tidak tepat diberlakukan bagi masyarakat adat Semende.

Sebab, mereka bukan perambah yang datang ke kawasan itu membuka lahan seluas-luasnya.
“Nenek moyang kami memang sudah berdiam di daerah ini sejak lama, bahkan sebelum negara ini dibentuk,” tambahnya.

Ia mengatakan warga Dusun Lamo Banding Agung tetap bertahan di pondok mereka meski operasi atau razia dilakukan polisi kehutanan TNBBS bersama polisi dan polhut Dinas Kehutanan Kabupaten Kaur.

Razia kata dia akan dilakukan hingga 24 Desember, namun hingga saat ini belum seorangpun masyarakat adat Semende yang ditangkap aparat polisi kehutanan.

“Dalam razia hari ini tidak ada warga Semende yang ditangkap, kami tidak tahu apakah besok akan ditangkap, yang jelas kami tetap mempertahankan tanah adat kami,” kata Midi.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Deff Tri H mengatakan dirujuk dari kronologis sejarah, sejak 1891 Dusun Lamo di Desa Banding Agung telah ditetapkan sebagai tanah warga marga Semende oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Kewidanaan Kaur.

“Jadi secara hukum, wilayah itu sah milik tanah marga sejak tahun 1891. Artinya, ini bukan perambahan, kenapa mereka diusir?” tanyanya.

Ia mendesak Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah segera mengimplementasikan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan negara.
Desakan ini merujuk pada sikap represif aparat dan pemerintah daerah saat melakukan penertiban atas tanah adat yang diklaim milik negara.

“Putusan ini telah lama keluar. Dari putusan ini, harusnya sudah ada tindak lanjut dari Gubernur, agar masyarakat adat yang ada di Bengkulu, bisa memiliki kedaulatan sendiri atas tanah dan miliknya,” tuturnya, menerangkan.

Implementasi kebijakan yang lamban menurutnya, akan merugikan keberadaan dan hak masyarakat adat.

Termasuk bagi 378 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 600 jiwa masyarakat adat suku Semende di Dusun Lamo Banding Agung, Kaur.(ant)

Monday, December 23, 2013

Empat Anggota Masyarakat Adat Semende Ditangkap Aparat



BENGKULU, KOMPAS.com - Petugas gabungan yang menggelar razia di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, menangkap empat warga masyarakat adat Suku Marga Semende, Selasa (23/12/2013).

"Pada jam 7 pagi tadi kembali terjadi pembakaran rumah masyarakat adat Semende Banding Agung, Kabupaten Kaur, Bengkulu oleh polhut, dalam operasi pembakaran pagi tadi masyarakat adat yang meminta penjelasan dari polisi kehutanan ditangkap. Sampai saat ini belum ada kabar dari keempat masyarakat adat yang ditangkap oleh polhut ini," kata Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Deftri Hamri, Senin (24/12/2013).

Keempat masyarakat yang diamankan itu yakni, Hamidi, Heri, H Rahmat dan Suraji. Diamankannya keempat masyarakat adat itu bermula dari pembakaran rumah masyarakat adat yang berada di dalam taman nasional. Lalu, keempat orang itu mendatangi petugas untuk meminta klarifikasi, justru mereka diamankan petugas. Keempatnya dibawa ke Polres Kaur.

Kepala Polres Kaur, AKBP Dirmanto ketika dikonfirmasi menyatakan belum mengetahui diamankannya keempat warga itu, karena masih berada di Kota Bengkulu. "Nanti saya cek dulu, ya," kata Kapolres.

Sementara itu, salah seorang petugas TNBBS yang berada di lokasi, Aji, membenarkan diamankannya keempat warga itu. "Mereka bukan ditangkap tapi diamankan untuk dibawa ke polres guna dimintai keterangan lanjutnnya," kata Aji, saat dihubungi via telpon.

Razia petugas gabungan terhadap yang berada dalam wilayah taman nasional telah berlangsung selama tiga hari, dalam razia tersebut petugas gabungan polisi, satpol, dan polisi hutan membakar empat rumah masyarakat asli wilayah tersebut.

Usai menahan keempat warga, aparat gabungan langsung meninggalkan lokasi. Sementara puluhan masyarakat adat Suku Semende masih bertahan di rumah dan kebun milik mereka di dalam taman nasional.

Sunday, December 22, 2013

Masuk Taman Nasional, Masyarakat Adat Dilindungi Konstitusi



BENGKULU, KOMPAS.com — Masyarakat adat yang tinggal di dalam wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, dilindungi Konstitusi. 
Demikian ditegaskan Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Defri Tri.
"Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan negara, seharusnya pemerintah implementasikan aturan itu tidak dengan sembarang mengusir masyarakat dari taman nasional," kata Def Tri, Minggu (22/12/2013).

Ia melanjutkan, putusan tersebut harus segera direalisasikan terhadap ratusan masyarakat adat Marga Suku Semende, di Dusun Lame yang masuk dalam wilayah TNBBS.

Def Tri juga menolak keras tindakan aparat gabungan Polres Kaur, Satpol PP, dan petugas TNBBS yang membakari rumah dan pondok masyarakat adat di dalam kawasan itu. Dia menegaskan agar gubernur segera menyelesaikan persoalan pengusiran masyarakat adat dari TNBBS.

"Gubernur harus segera realisasikan putusan MK itu dalam bentuk aturan turunan baik dalam bentuk Perda atau SK sebagai alas hak masyarakat adat," tambahnya.

Razia yang digelar petugas gabungan kepolisian setempat dan pihak TNBBS mengakibatkan tidak kurang dari empat rumah masyarakat adat dibakar hingga ludes.

Namun, pembakaran itu dibantah oleh pihak TNBBS.

Sementara itu, warga mengklaim mereka telah menempati wilayah itu sejak tahun 1819, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 1980.

Operasi Gabungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Berujung Pembakaran Rumah Masyarakat Adat



EkspresNEWS.com –Keberadaan dan aktivitas Masyarakat Adat Semende Banding Agung, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu dinilai mengancam keberlangsungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), sehingga berbagai upaya pengusiran dilakukan oleh Balai TNBBS untuk mengeluarkan masyarakat adat yang sebenarnya sudah ada dan hidup sebelum adanya status TNBBS. Hari ini dilakukan operasi gabungan yang terdiri dari Polres Kaur, Satpol PP, Polisi Hutan serta pihak TNBBS dengan jumlah 181 personil.

Operasi gabungan ini sebagai akibat dari klaim sepihak pemerintah atas wilayah masyarakat adat yang ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1982 melalui surat Menteri Pertanian tentang penetapan Taman Nasional. Operasi gabungan tersebut dilakukan dari 21 Desember 2013 – 24 Desember 2013 terhadap 378 kepala keluarga pewaris tanah adat Semende Banding Agung.

Operasi gabungan tersebut berujung pembakaran 5 rumah Masyarakat Adat Semende yang berada dalam TNBBS. Dari pantauan EkspresNews belum ada kejelasan sebab terjadi pembakaran ini, namun pembakaran diduga dilakukan oleh petugas yang melakukan operasi gabungan.

Pembakaran dilakukan pada saat masyarakat adat sedang dialog dengan Polres Kaur yang berada jauh dari pemukiman Masyarakat Adat (Kompas.com/Minggu, 22-12-2013). Pembakaran tersebut membuat masyarakat marah dan melakukan perlawanan, tapi pihak kepolisian mengancam akan menembak dan menodongkan senjata. Untuk saat ini masyarakat masih bertahan dan mengusir petugas untuk keluar dari wilaya adat Dusun Lamo Banding Agung.

Def Tri, Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Bengkulu melalui release pernyataan sikap atas tindakan pengusiran masyarakat adat Semende menyatakan bahwa pengusiran ini berakibat kepada hilangnya akses masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam hutan adat, masyarakat adat Semende mulai merasa tidak aman dan terancam dijadikan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 jo Pasal 78 Undang-Undang Kehutanan.

Disamping itu masyarakat juga kehilangan hak milik berupa tanaman kopi, durian dan padi. Saat ini AMAN beserta Masyarakat Adat Semende mendesak Bupati Kaur dan Gubernur Bengkulu untuk mengambil langkah strategis dalam menyelesaikan permsalahan yang mengancam kelangsungan hidup, hilangnya budaya dan adat Masyarakat Adat Semende.