
Def
Tri, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Bengkulu, mengatakan, setelah pemeriksaan, empat warga langsung ditetapkan
sebagai tersangka dan ditahan. “Mereka
dijerat UU No 18, pasal 92 ayat 1 huruf a dan b,” katanya via pesan singkat kepada Mongabay,
Selasa malam (24/12/13).
Def
mengatakan, awalnya, mereka berempat diajak tim penertiban ke Kantor Taman
Nasional Bukit Baisan Selatan (TNBBS) sektor
Merpas, Kabupaten Kaur, untuk berdialog. Setibanya di kantor itu, tim
mengadakan upacara pembubaran tim operasi.
Keempat
warga ini malah dibawa ke Polres Kaur. Dipolres mereka diperiksa penyidik
tindak pidana khusus (tipidsus) sampai sekitar pukul 24.00. “Pada Selasa
24 Desember, pukul 10.30 Midi,
Heri, Rahmat dan Suraji diminta menandatangani surat perintah dan penahanan,”
katanya dalam kronologi kejadian yang dikirim via surat elektronik.
Def
menceritakan, operasi gabungan TNBBS dimulai Sabtu (21/12/13) sampai Selasa
(24/12/13). Di sana, ada
dua titik kumpul masyarakat adat Semende Banding Agung, di Talang Batu Betiang
dan Talang Cemara.
Pada
Sabtu, tim gabungan mulai beroperasi. “Hari itu sudah terjadi pembakaran
rumah-rumah masyarakat. Ini rumah warga di luar wilayah adat Semende Banding Agung,” ujar
dia.
Pada
Minggu (22/12/13), sekitar pukul 11.00, masyarakat adat di Talang
Cemara menerima kedatangan tim Polres Kaur. Mereka sempat berdiskusi terkait
operasi gabungan di wilayah adat Semende Banding Agung.
Setelah
diskusi, perwakilan masyarakat adat mengantarkan tim Polres Kaur ke pos
operasi, karena tak mengetahui jalan ke sana.
Usai
mengantarkan tim, masyarakat terkejut dengan kepulan asap. Ternyata, rumah masyarakat adat sudah
dibakar polhut. Masyarakat, katanya, datang ke lokasi pembakaran, tetapi polhut
mencabut golok dan mengarahkan pistol ke masyarakat.
Pukul
14.00, polhut kembali mendatangi warga adat di Talang Cemara. Mereka meminta
warga mengisi daftar hadir. Warga mengisi daftar hadir. Belakangan, kata Def,
ada warga melihat polhut menambahkan kata perambah di ujung kata “daftar
hadir”.
Lalu,
warga diminta menandatangani pernyataan akan meninggalkan wilayah. Mereka
menolak. Polhut pun meminta warga datang pada malam hari ke pos operasi
gabungan. Sayangnya, pada malam itu, hujan deras hingga warga tak bisa datang
ke pos.
Senin
(23/12/13), warga adat di Talang Cemara menyiapkan tikar di halaman rumah
mereka. Karena batal bertemu pada malam hari, warga beranggapan dialog dengan
tim gabungan dilangsungkan pagi itu.
Namun,
alih-alih dialog. Polhut datang sekitar pukul 07.00, tetapi langsung
marah-marah. Menurut cerita warga, kata Def, beberapa anggota tim menendangi
rumah warga. Warga tak diberi kesempatan berbicara. Pondok warga
adat pun mulai dibakari.
Sementara,
Midi, sebagai hulubalang, di Talang Batu Betiang, mendengarkan kabar akan
ada dialog dengan tim operasi mendatangi Talang Cemara. Tetapi yang dia lihat
malah pembakaran rumah-rumah. Midi, dan tiga warga lain, Heri, Rahmat dan
Suraji meminta penjelasan. Polhut malah marah-marah.
Polhut
TNBBS bahkan sempat memukul Suraji, dan Midi. Anggota tim juga beberapa kali
mengeluarkan tembakan ke udara. Polhut ingin memborgol Heri, namun Midi meminta
agar tak diborgol. “Setelah itu mereka berempat diajak turun, dialog. Ternyata
dibawa ke polisi dan jadi tersangka.”
Dari
operasi tim gabungan itu, kata Def, warga adat mengalami kerugian seperti 10
rumah dibakar beserta isi, dua di Talang Sinar Semendo, delapan di Talang
Cemara. Salah satu yang dibakar warung manisan, dan kebutuhan sehari-hari.
“Lalu satu sepeda motor, genset dan hasil panen seperti kopi, beras, dan
kebutuhan hidup sehari-hari juga rusak.”
Pada
Senin (23/12/13), kepada Mongabay, Sonny Partono, Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan
mengatakan, sudah mendapat laporan tentang operasi penertiban di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (TNBBS). “Mana ada rumah warga adat yang dibakar, itu
cuma gubuk kerja yang sudah lama ditinggalkan,” katanya.
Menurut
dia, keempat warga yang menjadi provokator sudah ditangkap. “Ya, povokator
sudah ditangkap. Nanti, liat saja, akan sepi itu kalau provokator sudah
ditangkap.”
Ketika
disebutkan mereka masyarakat adat yang sudah tinggal turun menurun di sana,
kata Sonny,” Mana buktinya. Harus jelas. Belum ada perda yang mengakui.”
Bagaimana
nasib tanaman kebun yang sudah ada? Tanpa penjelasan detil, dia mengatakan akan
memberikan kesempatan warga memelihara kebun-kebun itu.
Def
kesal dengan pernyataan Sonny. “Kalau semua orang yang mempertahankan hak
disebut provokator, apa bedanya Dirjen PHKA dengan kompeni Belanda. Payah dan ngawur.”