Kancil dan Superman, ibarat air dan minyak sulit disatukan, yang
satu Indonesia punya dan yang satu lagi orang asing punya. Jikalau
Superman bisa terbang dan punya kekuatan maha dahsyat untuk
menghancurkan gedung-gedung bertingkat dan semua musuh takluk padanya,
maka lain halnya dengan Kancil, mahkluk lemah, yang jelas tidak bisa
terbang.
Kancil tidak perlu kekuatan super untuk mengalahkan musuhnya.
Cerdik dan menyadari kelemahan diri adalah ciri khasnya. Dan yang pasti,
kendati cuma perumpamaan dalam cerita dongeng, Kancil memang ada dan
hidup di hutan-hutan tropis belantara, sedang Superman cuma rekayasa
fiktif, buatan manusia dan hidup dalam dunia komik.
Mungkin
samar-samar rasanya ingatan kita sewaktu kecil dahulu pernah mendengar
tentang Kancil dan kecerdikannya yang mengalahkan kelicikan si Raja
Hutan. Sebagian dari kita yang pernah mencicipi tradisi dongeng sebelum
tidur ini, rasanya juga tidak akan lupa bagaimana cara orang tua atau
nenek menceritakannya. Tiruan suara Harimau dan penghuni hutan
seolah-olah membawa kita ke hutan, tempat keberadaan tokoh-tokoh dongeng
tersebut. Bahkan tak jarang, rasanya belum lengkap tidur kalau belum
didongengkan. Kendati mungkin ceritanya yang itu-itu saja, tapi toh kita
tetap senang dan tertawa lagi saat dongeng itu diceritakan kembali.
Kisah ini seperti sebuah nostalgia lampau, belum tentu semua orang
pernah mengalaminya. Mengingatnya saja mungkin sudah tak bisa sedetail
dulu, sewaktu kanak-kanak, waktu TV dan komik belum melimpah. Dan
sekarang dengan semakin canggihnya zaman. Desakan dari tradisi
audiovisual elektronik, televisi, game, cergam, komik dan lain
sebagainya, akhirnya makin meminggirkan dongeng menjadi budaya kuno dan
tidak mengikuti perkembangan zaman. Disadari atau tidak ini akan menjadi
polusi bagi generasi kita. Polutan ini akan menggiring generasi jauh
dari nilai-nilai luhur dan jelas jauh dari komitmen untuk membangun
generasi yang berkepribadian sehat, kukuh dan utuh. Kehidupan imajinasi
yang sehat setiap anak negeri perlahan dan terus menerus akan dikikis
dan ditumpulkan.
Secara Universal, patut kita banggakan bahwa
bangsa kita sangat kaya dengan tradisi sastra lisan (oral tradition),
Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri. Propinsi kita,
Bengkulu, di suku bangsa Rejang nya, tradisi sastra lisan ini ada yang
dinamakan dengan ‘Berjong dan Nyambei’, di Serawai dikenal dengan
‘Berejung, Bedindin dan Andai-andai (dongeng)’dan Muko-Muko dengan
'Keba'. Dahulunya terkadang dalam setiap acara pernikahan atau adat dan
bahkan dalam kehidupan sehari-hari tradisi ini masih sering
dipraktekkan.
Tradisi yang diwariskan secara turun temurun ini sangat
jarang atau masih belum terdokumentasikan secara baik. Ahli
Berejung/Berjong biasanya adalah orang-orang yang sudah berumur lanjut.
Biasanya dilakukan sembari menidurkan anak atau sedang bercengkrama dan
berkumpul dengan anak-anak dirumah. Bahkan tak jarang di kalangan
anak-anak, terkadang dongeng memang sengaja dipinta apabila mereka telah
selesai melakukan sesuatu pekerjaan atau sebagai imbalan dari pekerjaan
yang mereka lakukan. Misalnya, si Kakek minta untuk dipijit (urut) oleh
cucunya dan sebagai imbalannya sang kakek harus mendongengkan satu
cerita atau lebih tergantung lama atau tidaknya si anak tadi ingin
memijit. Ada kehangatan dalam tradisi ini, selain efektif dalam
menanamkan nilai budi pekerti dari pilosofi dongeng, dongeng juga bahkan
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai
lingkungan. Ringkasnya, dari kesemuanya itu, pada prinsipnya
menggariskan satu hal yaitu bahwa peran komunikasi dalam
penginternalisasian nilai-nilai tradisi budaya, pengetahuan dan budi
pekerti mutlak dilakukan, demi untuk menjaga generasi dari lupa dan buta
identitas komunitasnya.
Dongeng adalah warisan tradisi budaya
bangsa, merekam nilai-nilai luhur dan sarat dengan kearifan, kejujuran,
keadilan, sejarah bangsa dan falsafah-falsafah hidup asli bangsa kita.
Dongeng dulu juga sebagai budaya tanding (counter culture) terhadap
dominasi kesusasteraan yang kala itu begitu berkiblat pada euphoria
kehidupan istana raja-raja. Dengan dongeng hendak digambarkan bahwa
kehidupan yang baik bukan hanya kehidupan yang berkiblat pada dunia
lain, dunia para dewa atau raja. Kehidupan yang baik adalah kehidupan
yang membumi, yang dibangun atas kesadaran harga diri dan potensi diri.
Sutradara terkenal, Arswendo Atmowiloto, memandang dongeng adalah sarana
ideal untuk menumbuhkan daya imajinasi anak, mendorong kreativitas dan
merangsang untuk berfikir kreatif dan imajinatif. Dongeng bahkan
mempunyai kekuatan untuk menanamkan (transformasi) nilai-nilai dan
etika, empati dan rasa kesetiakawanan pada sesama, ungkap Dr. Murti
Buranta, SS. MA, Ketua Kelompok Pecinta Bacaan Anak.
Ironis
memang, meski banyak orang tua sadar akan pentingnya peran dongeng dalam
membantu pengembangan kepribadian anak, kenyataan tetap menunjukkan
kalau dongeng kita semakin ditinggalkan. Kesibukan dan tuntutan hidup
begitu mengikat orang-orang dewasa dan akhirnya dipaksa untuk menjadi
orang-orang yang ‘mati rasa’ atau kurang peka, sebab telah dipenuhi
rutinitas dan fokus yang selalu menekankan pada prestasi dan
keberhasilan. Selain itu harus diakui juga bahwa, di zaman yang serba
canggih ini dongeng di mata anak-anak sendiri, sudah tak populer lagi.
Dongeng sekarang ditangkap dalam bentuk tulisan dan gambar. Semenjak
bangun hingga menjelang tidur lagi, anak-anak sekarang sudah dihadapkan
dengan ‘kotak kaca’ yang menyajikan berbagai macam mata acara. Lebih
visual dan auditif, tampak dan terdengar.
Fenomena ‘kotak kaca’
telah meluas dan bahkan sampai ke desa-desa terpencil. Televisi menjadi
buku panduan, menjadi kitab, menjadi guru ngaji dan menjadi tauladan.
Terkikisnya fungsi sosial dari dongeng dan tradisi sastra lisan yaitu,
interaksi dan komunikasi dua arah yang harusnya terjadi akhirnya makin
memperburuk keadaan. Anak-anak tidak lagi merasakan kehangatan, rasa
dicintai, rasa diperhatikan dalam diri si anak dan hubungan dialogis
dengan sumber ceritanya. Mereka disajikan dengan tayangan atau program
yang terkadang justru jauh dari nilai-nilai luhur bangsa. Ragam acara
yang ada justru lebih mengedepankan hiburan daripada kualitas.
Bahkan bukan cerita baru, kalau kita menyempatkan diri untuk bertanya
pada anak kecil dekat rumah tentang idola jagoan mereka, maka jawabannya
terkadang tak jauh dari Superman, Batman, Power Rangers, Doraemon dan
lain sebagainya. Sedikit atau bahkan mungkin tidak ada yang mau
mengidolakan Kancil atau Pitung. Dan lucunya lagi, sebagian anak-anak
tadi bahkan tak segan-segan untuk mempraktekkan bagaimana jagoan mereka
beraksi. Figur-figur hero, yang memandang hidup adalah hal sederhana,
dan tak perlu kerja keras untuk menyelesaikan masalah atau asalkan kuat
pasti menang, telah menjadi polutan yang mendarah daging dan jelas
mengalahkan tokoh-tokoh dongeng kita. Sudah pasti Kancil dan Pitung
kalah, mereka tidak bisa terbang dan punya kekuatan super yang bisa
menghancurkan gedung-gedung bertingkat dan memusnahkan musuh-musuhnya.
Mereka juga tidak punya kantong yang bisa minta apa saja, dengan sekali
rogoh kantong maka selesai masalah dan kesulitan mereka.
Mirisnya
lagi, ketika pertanyaan yang sama kita ajukan untuk anak yang lebih
besar, (SMP, SMA atau bahkan Perguruan Tinggi) polutan tadi ternyata
mengendap hingga remaja dan bahkan dewasa. Sangat langka rasanya ada
anak muda yang mengidolakan Boedi Oetomo, R.A. Kartini, Jenderal
Soedirman atau Benyamin.S. Tokoh pejuang kita pun harus tersingkir, oleh
jagoan asing lainnya. Rupanya Che Guevarra ternyata lebih mampu
menyulut semangat revolusi dan perjuangan para aktivis dibanding Boedi
Oetomo, R.A. Kartini atau Jend.Soedirman, dan Brad Pit, Jenifer Lopez
dan Britney Spears, dengan sangat berat harus diakui memang jauh lebih
tampan, seksi dan macho ketimbang Benyamin.S.
Sedih dan lucunya
lagi, ternyata terkadang nama tokoh dan karakter dalam serial Power
Rangers rupanya lebih gampang diingat dan dihafalkan dibanding dengan
tokoh-tokoh kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, yang jelas-jelas asli
Indonesia punya. Ya, setiap orang pasti punya idola dan jagoan
masing-masing, penilaian dan persepsi masing-masing orang memang
berbeda. Tapi persoalannya apakah kita orang Indonesia, tidak punya
jagoan? Atau kenapa jagoan kita sampai tidak menjadi idola?. Bukannya
menentang arus zaman atau menyalahkan idola masing-masing orang, tapi
memang sepertinya dapat kita asumsikan bahwa sekarang generasi kita
sedikit lupa atau mungkin sengaja dilupakan tentang cerita mereka, dalam
pelajaran sejarah, dalam dongeng dan dalam penanaman nilai-nilai luhur
bangsa.
Kancil memang tak sehebat Superman, Batman atau Doraemon.
Tapi Kancil punya nyali dan menyadari potensi dirinya dalam menghadapi
kesulitan yang menghadangnya. Kancil tidak pernah meminta belas kasih
dan ia juga tidak pernah bermimpi untuk menyelesaikan masalah dengan
jalan pintas dan cepat selesai. Kancil bisa jadi lebih hebat dan lebih
pintar dari Superman. Kancil juga tidak pernah merusak hutan dan bahkan
dia tau cara pakai baju yang tepat, tidak seperti Superman yang
‘underwear- nya’ diluar. Kancil harus hidup disetiap kepala anak negeri.
Lalu, maukah kita melahirkan kancil-kancil ini?, membangun negeri
bersama nilai-nilai luhur. Memilih pemimpin kancil yang peduli dengan
rakyat sekitarnya. Dan sudikah kita mendongengkan anak-anak kita sebelum
tidur?. Bukankah dongeng bukan perbuatan dosa atau memalukan.
Kumpulan buku dongeng sudah banyak, koran-koran pun sudah ada yang
membuat ruang khusus untuk anak, dongeng pun ada disana. Tinggal
dibacakan, jikalau memang referensi dongeng yang jadi kendala. Institusi
pendidikan dan sekolahan sudah selayaknya memperkaya taman bacanya
dengan cerita dongeng, sejarah asli atau biografi pahlawan Indonesia
secara lebih massif dan kemudian membedahnya menjadi topic diskusi.
Bengkulu pun juga harus memiliki kumpulan dongeng atau cerita sejarah
asli orang Bengkulu dan kemudian didistribusikan pada masyarakat,
sekolah dan daerah-daerah. Bukankah rasanya sejarah Pasar minggu saja
kita tidak punya, padahal sebentar lagi akan hilang dan jadi Mega Mall.
Yang pasti orang Bengkulu atau orang Indonesia harus tahu dengan
nilai-nilai luhur bangsanya. Sebelum orang-orang makin lupa buta
identitasnya dan sebelum ini menjadi budaya .
Hary Siswoyo (Botjek)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment