-->

Wednesday, November 20, 2013

ANTARA KANCIL DAN SUPERMAN

Kancil dan Superman, ibarat air dan minyak sulit disatukan, yang satu Indonesia punya dan yang satu lagi orang asing punya. Jikalau Superman bisa terbang dan punya kekuatan maha dahsyat untuk menghancurkan gedung-gedung bertingkat dan semua musuh takluk padanya, maka lain halnya dengan Kancil, mahkluk lemah, yang jelas tidak bisa terbang.

Kancil tidak perlu kekuatan super untuk mengalahkan musuhnya. Cerdik dan menyadari kelemahan diri adalah ciri khasnya. Dan yang pasti, kendati cuma perumpamaan dalam cerita dongeng, Kancil memang ada dan hidup di hutan-hutan tropis belantara, sedang Superman cuma rekayasa fiktif, buatan manusia dan hidup dalam dunia komik.

Mungkin samar-samar rasanya ingatan kita sewaktu kecil dahulu pernah mendengar tentang Kancil dan kecerdikannya yang mengalahkan kelicikan si Raja Hutan. Sebagian dari kita yang pernah mencicipi tradisi dongeng sebelum tidur ini, rasanya juga tidak akan lupa bagaimana cara orang tua atau nenek menceritakannya. Tiruan suara Harimau dan penghuni hutan seolah-olah membawa kita ke hutan, tempat keberadaan tokoh-tokoh dongeng tersebut. Bahkan tak jarang, rasanya belum lengkap tidur kalau belum didongengkan. Kendati mungkin ceritanya yang itu-itu saja, tapi toh kita tetap senang dan tertawa lagi saat dongeng itu diceritakan kembali.

Kisah ini seperti sebuah nostalgia lampau, belum tentu semua orang pernah mengalaminya. Mengingatnya saja mungkin sudah tak bisa sedetail dulu, sewaktu kanak-kanak, waktu TV dan komik belum melimpah. Dan sekarang dengan semakin canggihnya zaman. Desakan dari tradisi audiovisual elektronik, televisi, game, cergam, komik dan lain sebagainya, akhirnya makin meminggirkan dongeng menjadi budaya kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Disadari atau tidak ini akan menjadi polusi bagi generasi kita. Polutan ini akan menggiring generasi jauh dari nilai-nilai luhur dan jelas jauh dari komitmen untuk membangun generasi yang berkepribadian sehat, kukuh dan utuh. Kehidupan imajinasi yang sehat setiap anak negeri perlahan dan terus menerus akan dikikis dan ditumpulkan.

Secara Universal, patut kita banggakan bahwa bangsa kita sangat kaya dengan tradisi sastra lisan (oral tradition), Masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri. Propinsi kita, Bengkulu, di suku bangsa Rejang nya, tradisi sastra lisan ini ada yang dinamakan dengan ‘Berjong dan Nyambei’, di Serawai dikenal dengan ‘Berejung, Bedindin dan Andai-andai (dongeng)’dan Muko-Muko dengan 'Keba'. Dahulunya terkadang dalam setiap acara pernikahan atau adat dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari tradisi ini masih sering dipraktekkan.

Tradisi yang diwariskan secara turun temurun ini sangat jarang atau masih belum terdokumentasikan secara baik. Ahli Berejung/Berjong biasanya adalah orang-orang yang sudah berumur lanjut. Biasanya dilakukan sembari menidurkan anak atau sedang bercengkrama dan berkumpul dengan anak-anak dirumah. Bahkan tak jarang di kalangan anak-anak, terkadang dongeng memang sengaja dipinta apabila mereka telah selesai melakukan sesuatu pekerjaan atau sebagai imbalan dari pekerjaan yang mereka lakukan. Misalnya, si Kakek minta untuk dipijit (urut) oleh cucunya dan sebagai imbalannya sang kakek harus mendongengkan satu cerita atau lebih tergantung lama atau tidaknya si anak tadi ingin memijit. Ada kehangatan dalam tradisi ini, selain efektif dalam menanamkan nilai budi pekerti dari pilosofi dongeng, dongeng juga bahkan dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai lingkungan. Ringkasnya, dari kesemuanya itu, pada prinsipnya menggariskan satu hal yaitu bahwa peran komunikasi dalam penginternalisasian nilai-nilai tradisi budaya, pengetahuan dan budi pekerti mutlak dilakukan, demi untuk menjaga generasi dari lupa dan buta identitas komunitasnya.

Dongeng adalah warisan tradisi budaya bangsa, merekam nilai-nilai luhur dan sarat dengan kearifan, kejujuran, keadilan, sejarah bangsa dan falsafah-falsafah hidup asli bangsa kita. Dongeng dulu juga sebagai budaya tanding (counter culture) terhadap dominasi kesusasteraan yang kala itu begitu berkiblat pada euphoria kehidupan istana raja-raja. Dengan dongeng hendak digambarkan bahwa kehidupan yang baik bukan hanya kehidupan yang berkiblat pada dunia lain, dunia para dewa atau raja. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang membumi, yang dibangun atas kesadaran harga diri dan potensi diri. Sutradara terkenal, Arswendo Atmowiloto, memandang dongeng adalah sarana ideal untuk menumbuhkan daya imajinasi anak, mendorong kreativitas dan merangsang untuk berfikir kreatif dan imajinatif. Dongeng bahkan mempunyai kekuatan untuk menanamkan (transformasi) nilai-nilai dan etika, empati dan rasa kesetiakawanan pada sesama, ungkap Dr. Murti Buranta, SS. MA, Ketua Kelompok Pecinta Bacaan Anak.

Ironis memang, meski banyak orang tua sadar akan pentingnya peran dongeng dalam membantu pengembangan kepribadian anak, kenyataan tetap menunjukkan kalau dongeng kita semakin ditinggalkan. Kesibukan dan tuntutan hidup begitu mengikat orang-orang dewasa dan akhirnya dipaksa untuk menjadi orang-orang yang ‘mati rasa’ atau kurang peka, sebab telah dipenuhi rutinitas dan fokus yang selalu menekankan pada prestasi dan keberhasilan. Selain itu harus diakui juga bahwa, di zaman yang serba canggih ini dongeng di mata anak-anak sendiri, sudah tak populer lagi. Dongeng sekarang ditangkap dalam bentuk tulisan dan gambar. Semenjak bangun hingga menjelang tidur lagi, anak-anak sekarang sudah dihadapkan dengan ‘kotak kaca’ yang menyajikan berbagai macam mata acara. Lebih visual dan auditif, tampak dan terdengar.

Fenomena ‘kotak kaca’ telah meluas dan bahkan sampai ke desa-desa terpencil. Televisi menjadi buku panduan, menjadi kitab, menjadi guru ngaji dan menjadi tauladan. Terkikisnya fungsi sosial dari dongeng dan tradisi sastra lisan yaitu, interaksi dan komunikasi dua arah yang harusnya terjadi akhirnya makin memperburuk keadaan. Anak-anak tidak lagi merasakan kehangatan, rasa dicintai, rasa diperhatikan dalam diri si anak dan hubungan dialogis dengan sumber ceritanya. Mereka disajikan dengan tayangan atau program yang terkadang justru jauh dari nilai-nilai luhur bangsa. Ragam acara yang ada justru lebih mengedepankan hiburan daripada kualitas.

Bahkan bukan cerita baru, kalau kita menyempatkan diri untuk bertanya pada anak kecil dekat rumah tentang idola jagoan mereka, maka jawabannya terkadang tak jauh dari Superman, Batman, Power Rangers, Doraemon dan lain sebagainya. Sedikit atau bahkan mungkin tidak ada yang mau mengidolakan Kancil atau Pitung. Dan lucunya lagi, sebagian anak-anak tadi bahkan tak segan-segan untuk mempraktekkan bagaimana jagoan mereka beraksi. Figur-figur hero, yang memandang hidup adalah hal sederhana, dan tak perlu kerja keras untuk menyelesaikan masalah atau asalkan kuat pasti menang, telah menjadi polutan yang mendarah daging dan jelas mengalahkan tokoh-tokoh dongeng kita. Sudah pasti Kancil dan Pitung kalah, mereka tidak bisa terbang dan punya kekuatan super yang bisa menghancurkan gedung-gedung bertingkat dan memusnahkan musuh-musuhnya. Mereka juga tidak punya kantong yang bisa minta apa saja, dengan sekali rogoh kantong maka selesai masalah dan kesulitan mereka.

Mirisnya lagi, ketika pertanyaan yang sama kita ajukan untuk anak yang lebih besar, (SMP, SMA atau bahkan Perguruan Tinggi) polutan tadi ternyata mengendap hingga remaja dan bahkan dewasa. Sangat langka rasanya ada anak muda yang mengidolakan Boedi Oetomo, R.A. Kartini, Jenderal Soedirman atau Benyamin.S. Tokoh pejuang kita pun harus tersingkir, oleh jagoan asing lainnya. Rupanya Che Guevarra ternyata lebih mampu menyulut semangat revolusi dan perjuangan para aktivis dibanding Boedi Oetomo, R.A. Kartini atau Jend.Soedirman, dan Brad Pit, Jenifer Lopez dan Britney Spears, dengan sangat berat harus diakui memang jauh lebih tampan, seksi dan macho ketimbang Benyamin.S.

Sedih dan lucunya lagi, ternyata terkadang nama tokoh dan karakter dalam serial Power Rangers rupanya lebih gampang diingat dan dihafalkan dibanding dengan tokoh-tokoh kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, yang jelas-jelas asli Indonesia punya. Ya, setiap orang pasti punya idola dan jagoan masing-masing, penilaian dan persepsi masing-masing orang memang berbeda. Tapi persoalannya apakah kita orang Indonesia, tidak punya jagoan? Atau kenapa jagoan kita sampai tidak menjadi idola?. Bukannya menentang arus zaman atau menyalahkan idola masing-masing orang, tapi memang sepertinya dapat kita asumsikan bahwa sekarang generasi kita sedikit lupa atau mungkin sengaja dilupakan tentang cerita mereka, dalam pelajaran sejarah, dalam dongeng dan dalam penanaman nilai-nilai luhur bangsa.

Kancil memang tak sehebat Superman, Batman atau Doraemon. Tapi Kancil punya nyali dan menyadari potensi dirinya dalam menghadapi kesulitan yang menghadangnya. Kancil tidak pernah meminta belas kasih dan ia juga tidak pernah bermimpi untuk menyelesaikan masalah dengan jalan pintas dan cepat selesai. Kancil bisa jadi lebih hebat dan lebih pintar dari Superman. Kancil juga tidak pernah merusak hutan dan bahkan dia tau cara pakai baju yang tepat, tidak seperti Superman yang ‘underwear- nya’ diluar. Kancil harus hidup disetiap kepala anak negeri.

Lalu, maukah kita melahirkan kancil-kancil ini?, membangun negeri bersama nilai-nilai luhur. Memilih pemimpin kancil yang peduli dengan rakyat sekitarnya. Dan sudikah kita mendongengkan anak-anak kita sebelum tidur?. Bukankah dongeng bukan perbuatan dosa atau memalukan.

Kumpulan buku dongeng sudah banyak, koran-koran pun sudah ada yang membuat ruang khusus untuk anak, dongeng pun ada disana. Tinggal dibacakan, jikalau memang referensi dongeng yang jadi kendala. Institusi pendidikan dan sekolahan sudah selayaknya memperkaya taman bacanya dengan cerita dongeng, sejarah asli atau biografi pahlawan Indonesia secara lebih massif dan kemudian membedahnya menjadi topic diskusi. Bengkulu pun juga harus memiliki kumpulan dongeng atau cerita sejarah asli orang Bengkulu dan kemudian didistribusikan pada masyarakat, sekolah dan daerah-daerah. Bukankah rasanya sejarah Pasar minggu saja kita tidak punya, padahal sebentar lagi akan hilang dan jadi Mega Mall. Yang pasti orang Bengkulu atau orang Indonesia harus tahu dengan nilai-nilai luhur bangsanya. Sebelum orang-orang makin lupa buta identitasnya dan sebelum ini menjadi budaya .

Hary Siswoyo (Botjek)

No comments :

Post a Comment